Tuesday, December 12, 2006

Politik Kekuasaan KMD

Penulis : Adi

Kerukunan Masyarakat Donggala (KMD), organisasi kemasyarakatan yang sudah lama dibentuk memang sudah lama tidak terdengar aktivitasnya. Para pendiri dan pengurus seakan sibuk dengan aktivitas keseharian mereka. Yang tertinggal hanyalah arisan, kegiatan yang justru melahirkan KMD itu sendiri.

Yang namanya arisan, sudah tidak aneh jika diisi dengan obrolan ha-ha-hi-hi, atau sekedar bernostalgia ke masa silam yang memang indah untuk selalu dikenang. Namun ada nuansa lain pada arisan KMD yang diselenggarakan pada 9 Desember 2006 di Ciburial, Bogor saat itu. Memang tidak bisa lepas seratus persen dari canda dan tawa. Topik awal malah bergunjing soal poligami yang dilakukan oleh seorang ulama kondang.

Entah bagaimana awalnya, karena begitu penulis bergabung kembali ke kelompok obrolan setelah meninabobokan anak, bahkan sejenak ikut tertidur, sedang ramai diskusi mengenai mencari figur orang nomor satu di Kabupaten Donggala. Mungkin saja obrolan dilatarbelakangi oleh wafatnya Bupati H. Ardjad Lamarauna. Peserta obrolan seperti Lukman Bahraq, Taqwa, Boyke, Syam Israfuddin, Umar Bahraq, Gatot, dan Maksi seakan sepakat pada satu keputusan bahwa untuk mempercepat perbaikan keadaan Donggala harus bersifat top-down, yang artinya harus ada kemauan politik dari pemegang kekuasaan di Donggala. Para pembicara sadar bahwa awal keterpurukan Donggala adalah keputusan politik di masa lalu dengan memindahkan pelabuhan dari Donggala ke Pantoloan. Perbaikan pun tidak pernah terjadi meskipun ibukota kabupaten sudah pindah ke Donggala, karena para birokrat lebih memilih tinggal bahkan beraktivitas di Palu, bukan Donggala. Oleh karena itu, harus dicarikan pemimpin yang jujur, bersih dan mempunyai komitmen kuat untuk memajukan Donggala.
Melihat system dan stok calon pemimpin yang tersedia dan saat ini aktif di partai politik, rasanya sulit mencari orang yang memenuhi criteria tersebut di atas. Harus dicari terobosan untuk menyiasati kemapanan system yang sudah berjalan selama ini. Pada titik inilah pangkal pembicaraan berlanjut, di mana tercetus bahwa KMD harus terlibat dalam pencarian calon pemimpin, bahkan mencalonkan kader terbaiknya bila perlu.

Sepintas terlihat bahwa para pembicara seakan sepakat untuk menggiring KMD ke arah pergerakan politik praktis. Pada poin ini penulis sadar bahwa akan terjadi resistensi, mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa politik di negeri ini dilakukan dengan cara yang kotor dan dipenuhi oleh para ambisius. Akan terjadi resistensi karena para founding fathers sepakat bahwa KMD lahir bukan sebagai gerakan politik, tapi lebih mengedepankan gerakan social berbasiskan kekeluargaan dengan object pergerakan pada kalangan grass root.
Justru di situ letak permasalahannya. Jika penulis amatai selama ini, bukan program sosialnya yang tidak ada sehingga KMD tidak berjalan seperti diharapkan, paling tidak program yang diluncurkan oleh Ketua Umum KMD bisa dijadikan acuan awal untuk dapat berkarya di tanah kelahiran. Tulisan ini akan melebar jika membahas satu persatu permasalahan kenapa tidak jalannya KMD. Mungkin benang merahnya saja yang bisa ditarik, yaitu kendala dana dan waktu.
Untuk satu dua kegiatan yang bersifat temporer, dana bisa digalang dari para anggota KMD. Dan itu sudah dilakukan. Tapi jika setiap ada kegiatan harus ‘menodong’ dari para anggota, lambat laun, tanpa permisi, cikar kanan payakondios, para anggota akan mundur teratur. Ada yang bilang, “Ikut KMD kok capu-capu doi”. Banyak sih argument bisa dilontarkan soal bagaimana melakukan fund rising tanpa harus membebani para anggota. Namun hal itu tidak pernah dilakukan, karena memang dibutuhkan kerja ekstra, sementara semua anggota sudah terlalu sibuk dengan karir bisnisnya masing-masing. Jadi kembali masalahnya adalah dana dan waktu.
Berangkat dari permasalahan dana itulah barangkali para pembicara di arisan melihat sesungguhnya bila para pejabat bersih dan Bupati (siapapun itu) kreatif dalam penggunaan anggaran untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, maka keterpurukan Donggala dapat di atasi. Nah, jika ada kader KMD yang bergerak di area politik, maka masalah dana dan waktu itu bisa teratasi. Dana bisa diambil dari anggaran Negara. Waktu, si kader bisa focus di jabatan politis dengan meninggalkan karir lamanya apakah sebagai pengusaha, professional, dll. Yang pada gilirannya program-program pembangunan KMD akan bisa dijalankan.

Apakah KMD berubah menjadi partai politik ? Tidak sama sekali. Mungkin hanya bobot gerakan politiknya yang lebih besar. Dan yang dilakukan adalah berkolaborasi dengan partai politik yang sudah ada, dengan pola hubungan simbiosis mutualisma. Tentu saja harus dicari partai politik baru dan punya komitmen akan reformasi. Karena, partai politik yang ada di Donggala saat ini sudah dipenuhi oleh antrian panjang orang yang tidak punya komitmen pada Donggala.
Sepertinya simple. Memang begitulah sebuah wacana. Tak terlihat kendala ke depannya. Kalaupun ada strategi, hanyalah ide yang terlontar spontan saja. Jadi hasil pembicaraan bukanlah keputusan organisasi, meskipun dibicarakan oleh pentolan organisasi, dan tidak perlu di stop dulu. Biarkan mengalir. Seperti kata Syam, jika sudah menjadi keputusan organisasi maka harus dibuatkan proposal lengkap, ada analisa mendalam, ada action plan, dll. Jangan sampai partai politik yang akan KMD tunggangi malah berbalik menunggangi, sehingga sang tokoh yang terpilih malah sibuk melakukan politik balas budi seperti yang sudah-sudah. De Ja Vu.
Biarkan pula jika wacana yang bergulir sampai pada tingkat menyebut nama orang. Lagi pula, orang yang akan digadang-gadang sebagai figure bukanlah orang yang tidak kita kenal dan patut dicurigai. Bukan kebetulan jika dalam obrolan arisan tersebut, nama yang disebut sama dengan yang dilontarkan secara ‘mengigau’ pada kesempatan lain oleh Ari (atau Ary, atau Arie ?) Andi Cela. Jika mau tahu orangnya tanyalah Ari yang kini berada di Donggala. Bisa SMS ke dia, dan nomornya ada pada Andi Mallomo, Ketua Umum KMD. Permios…

Saturday, November 25, 2006

Survival : Daya Hidup dalam Mencapai Tujuan

Penulis : Abu Athallah
Survival, bagi para pecinta alam, kata itu pasti sudah tidak asing lagi. Penulis yang bukan pecinta alam sejati, dalam arti sering mendaki, keluar masuk hutan, arung jeram atau menyelam, dan aktifitas lainnya yang berbau alam pun, pernah mempelajarinya, meski sepintas tentunya. Salah satu tulisan Norman Edwin alm. tentang survival pernah penulis baca di perpustakaan sekolah dulu.

Survival intinya adalah suatu upaya mempertahankan hidup di alam bebas yang memiliki perilaku dan karakteristik tak terduga dalam rangka mencapai tujuan kita. Jadi, survival ada ketika kita punya suatu tujuan, apakah itu mendaki gunung, panjat tebing, arung jeram, dll.
Salah satu yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa survival bukan tindakan konyol. Ada persiapan untuk itu. Seingat penulis ada kebutuhan yang harus dipersiapkan untuk survival, yaitu : sikap mental, pengetahuan (cara mendapatkan air, makanan, membuat api, dll.), pengalaman dan latihan, peralatan, dan kemauan untuk belajar. Jadi survival adalah tindakan positif. Sikap mental positif, pengetahuan positif, dll.
First I was afraid
I was petrified
Kept thinking I could never live

Namun tulisan ini bukan mau membahas itu semua. Karena sekali lagi, penulis bukan pecinta alam sejati dalam pengertian di atas, yang tentu saja pengetahuan tentang survival pun amat sangat dangkal.

Yang ingin penulis ungkapkan adalah bagaimana pengetahuan survival di alam tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Survival dibutuhkan dalam dunia kerja, sekolah, rumah tangga, dan aspek kehidupan lainnya.
Survival adalah proses, tindakan menuju puncak, suatu perjalanan yang akan dipenuhi dengan duka dan derita. Kadang kita mengalami kram kaki, kehausan, bertemu ular, dan semua rintangan yang harus dihadapi. Tapi disitulah nikmatnya naik gunung. Coba anda ingat-ingat, ceritakan pengalaman anda ketika mendaki suatu gunung atau mengarungi arus liar di sebuah sungai. Cerita anda pasti akan dipenuhi oleh pengalaman anda dalam perjalanan menuju puncak gunung, bukan ketika berada di puncak itu sendiri. Kenikmatan di puncak akan cepat terlupakan hingga susah diceritakan. Tapi kesengsaraan dalam perjalanan akan menjadi kenangan abadi dalam hidup kita. Jika tujuan anda ke puncak adalah ingin menikmati puncak itu sendiri tanpa mengalami kesulitan, ya naik helicopter saja. Instan, selesai. Kata Gus Dur ,”gitu aja kok repot…”
Luka di badan anda, adalah suatu tanda anda bahwa anda pernah jatuh dan terluka. Kini anda bisa bercerita kepada orang lain tentang asal muasal bekas luka itu dengan bangga. Jika tubuh anda mulus tanpa bekas goresan luka apa pun, tak ada cerita heroik yang bisa anda banggakan.
Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita akan sering menghadapai kegagalan dalam proses menuju cita-cita kita. Tapi kita harus bangun dan berjalan kembali.
…I should have changed my stupid lock…
Makna lain dari survival adalah bagaimana kita mampu memutuskan dengan cepat dalam mengambil langkah alternative jika suatu jalan yang sudah kita rencanakan ternyata buntu. Untuk mencapai suatu puncak gunung misalnya, kita mungkin sudah merencanakan dengan matang track yang akan kita lalui. Tapi karena satu dan lain hal, track tersebut tidak dapat kita lewati. Pilihannya adalah pulang, atau mencari alternative track lain agar tujuan ke puncak tetap tercapai.
Demikian juga dalam hidup yang kita jalani, apa yang kita peroleh belum tentu merupakan sesuatu yang kita harapkan. Juga sebaliknya, apa yang kita harapkan belum tentu dapat dicapai. Alam tak bisa ditebak. Apakah kita harus frustrasi lantas menyerah ? Tidak. Survival jawabannya.
you think I'd crumble
you think I'd lay down and die
Oh no, notI will survive

Dalam cerita pop, mulai dari Ali Topan, Gita Cita dari SMA, Catatan Si Boy, hingga Eiffel I’m in Love, rentetan cerita kehidupan yang manis telah menjebak kita pada satu paradigma bahwa begitulah seharusnya hidup. Lahir, tumbuh, sekolah, kerja, menikah, mapan punya rumah dan mobil, hingga seterusnya. Tanpa sadar kita mengacu pada pola tersebut. Kita terjebak pada track yang demikian. Bahkan kepada anak-anak kita pun, kita membuat jalur yang demikian. Padahal hidup bukanlah urutan sequential seperti itu. Celakanya, begitu hidup kita tidak berurut menurut pola tersebut, kita lantas merasa gagal.
Intinya adalah, kita tidak boleh diam. Ada proses yang harus terus kita lakukan. Adalah konyol jika kita mendambakan suatu kesuksesan dalam hidup tapi kita tidak melakukan apa-apa. Jika kita merasa pernah melakukan sesuatu dan gagal lantas menyerah, ketahuilah bahwa Anda BELUM MELAKUKAN APA-APA.
I know I will stay alive
I've got all my life to live
I've got all my love to give
and I'll survive
I will survive

Sekali lagi, pada saat anda punya tujuan, maka dibutuhkan survival. Jika anda tidak punya tujuan hidup, jangan mengaku-ngaku pecinta alam. Jika anda tidak melakukan survival, jangan mengaku seorang pendaki gunung. Malu. Anak saya bilang, “basi tau…!”
It took all the strength I had
not to fall apart
kept trying hard to mend
the pieces of my broken heart
….I will survive….

Friday, November 17, 2006

Setelah Bupati Tewas, Kini Tiba Musim Ular Berganti Kulit


Arjad Lamarauna (Bupati Donggala ) ditemukan tewas di sebuah kamar hotel di bilangan Sudirman Jakarta pada Kamis, 16 November 2006, sekitar pukul 10 WIB. Setelah dikonfirmasi kepada pihak keluarga, ternyata Arjad berada di Jakarta dalam rangka menghadiri Rapim (Rapat Pimpinan) Partai Golkar yang berlangsung di Jakarta.

Setelah pihak kepolisian, keluarga dan beberapa petinggi negara termasuk Jusuf Kalla tiba di lokasi kejadian, maka disepakatilah bahwasannya jenazah akan dibawa ke Rumah sakit Cipto Mangun Kusumo, kurang lebih pukul 15:00 WIB untuk di otopsi. Hingga kurang lebih pukul 22:00 WIB, jenazah selesai diotopsi dan hasil dari otopsi tim dokter mengatakan bahwa Arjad terkena serangan jantung.
Setelah dikafankan serta dishalatkan, kemudian jenazah beserta keluarga diterbangkan ke Palu kurang lebih pukul 24:00 WIB dengan menggunakan pesawat charter Lion Air.
Tragis dan ironis memang !. Ketika seorang pejabat bupati yang baru kurang lebih dua tahun menjabat ditemukan tewas tanpa ada pihak keluarga yang mendampinginya. Namun,yang lebih tragis dan ironis lagi adalah daerah kekuasaan yang ditinggalkannya dengan berbagai macam persoalan yang belum terselesaikan. Baik menyangkut almarhum sendiri maupun persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh kroni-kroninya.
Kini Arjad telah tiada. Siapakah yang akan menggantikannya ? Apakah pengganti sementaranya akan bisa membawa Donggala ke arah lebih baik dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun kedepan ? Apakah PILKADA dapat dipercepat untuk mendapatkan bupati yang baru ? Dan beribu-ribu pertanyaan yang menyesakkan dada lainnya.

Sebuah babakan baru akan segera dimulai. Peta politik akan segera berubah. Para politikus dan pengusaha telah mengatur strategi untuk mewarnai PILKADA yang tak lama lagi. Lalu…bagaimana nasib para penjilat, belatung, pelacur politik dan ular kepala dua yang hidup dari kehidupan Arjad sebagai Bupati semasa hidupnya..? Yang jelas, mereka akan terus hidup dan berkembang biak laksana ular-ular kelaparan. Tetapi telah berganti kulit !. (Didi)

Thursday, November 16, 2006

Bupati Donggala H. Arjad Lamarauna Wafat


Innalillahi Wainnailaihi Raji'un
Turut berduka atas wafatnya Bupati Donggala :
H. Arjad Lamarauna
Kamis, 16 November 2006 di Jakarta
Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosanya,
dan menerima amal ibadahnya.
Cuplikan Berita Detik.Com :
Bupati Donggala, Sulawesi Tengah, Adham Arjad Lamarauna ditemukan tewas di kamar 3609, lantai 36, Hotel Mulia Jakarta. Arjad yang juga Ketua DPD II Donggala Partai Golkar dan sedang mengikuti Rapim II Golkar ini, sebelumnya mengeluh sakit di bagian perut sebelah kanan.
Berdasarkan keterangan ajudan Arjad, Slamet dan Erwin, Arjad terjatuh di depan pintu kamar mandi. Untuk mengetahui penyebab kematian yang misterius ini, pihak kepolisian melakukan otopsi di RSCM.
Tampak hadir melayat jenazah adalah Wapres Jusuf Kalla. Jenasah akan diterbangkan Kamis malam untuk dikebumikan di Donggala.

Friday, November 10, 2006

Donggala Kota Dalam Perspektif SWOT



Penulis : Andi Mallomo Pettalolo
Dalam kurun waktu 3 tahun ini saya cukup sering mengunjungi Donggala; setelah lebih dari 33 tahun meninggalkan Donggala untuk pertama kalinya pada tahun 1972 untuk memulai pengalaman batin di negeri orang. Saya menyaksikan terjadi banyak perubahan di Donggala selama 3 dekade, namun sayangnya perubahan tersebut cenderung destruktif. Ada banyak contoh perubahan destruktif ini, antara lain lapangan bola yang dulu pernah menelurkan pesepakbola handal Donggala sekaligus menjadi tempat rendevue masyarakat Donggala setahun sekali pada saat Taman Hiburan Rakyat semacam Pekan Raya Jakarta (PRJ) di laksanakan, kini menjadi Pasar Tradisional; menjadikan wajah Donggala menjadi suram. Pelabuhan Rakyat dimana roda perekonomian masyarakat berputar, terhenti seketika dan mematikan sendi-sendi pendapatan masyarakat. Tidak ada solusi alternatif yang ditawarkan agar masyarakat Donggala tetap memiliki hak ekonomi yang layak.

10 tahun pertama di Jakarta, saya pernah mengurus tiket keluarga yang akan pulang ke Donggala, saya ke travel biro di Tanjung Priok untuk menanyakan jadwal kapal yang akan berangkat ke Donggala. Saya tanya kepada penjual tiket tersebut, apakah ada kapal yang akan berangkat ke Pantoloan dalam waktu dekat ini, mereka balik bertanya, “Pantoloan itu dimana?”, Ke Pantoloan tidak ada, yang ada kapal ke Donggala. Padahal saat itu saya tahu pelabuhan Donggala sudah pindah beberapa tahun ke Pantoloan. Ilustrasi tadi cukup menggambarkan betapa Donggala merupakan brand yang kuat dan terkenal.

Dalam tulisan ini saya ingin berbagi kepada pembaca tentang cara pandang saya melihat Donggala melalui “SWOT Analisys”, dimana kekuatan sekaligus kelemahan Donggala serta bagaimana kesempatan dan ancaman yang dapat terjadi di Donggala.

1. STRENGTH (KEKUATAN)
Donggala sejak lama di kenal sebagai penghasil hasil bumi; beberapa diantaranya menjadi primadona saat itu, telah memikat hati saudagar-saudagar dari berbagai daerah untuk singgah di Donggala melalui pelabuhannya yang strategis. Dengan pelabuhan yang strategis dan terbuka, Donggala berkembang dengan pesat. Sebagai konsekuensinya Donggala pada akhirnya dihuni oleh berbagai etnis; Kaili, Bugis, Makassar, Manado, Cina, Arab, dan lain-lain, dengan agama yang berbeda-beda: Islam, Kristen dan Khonghucu/Budha. Dari tahun ke tahun kota yang multi etnis ini hidup dalam suasana kerukunan dan toleransi yang tinggi, bahkan terjadi perkawinan silang diantaranya, sehingga memperkuat kerukunan hidup antar umat beragama dan etnis. Secara emosional, masyarakat Donggala bagaikan saudara bagi satu sama lainnya. Saya sudah pernah mengelilingi Jawa dan Sumatera, saya harus mengakui, tidak ada pembauran antar etnis sebaik yang terjadi di Donggala. Inilah salah satu Strength atau kekuatan yang dimiliki Donggala yang belum tentu dimiliki daerah lain. Kekuatan sosial ini harus tetap dijunjung tinggi. Letak Donggala yang strategis juga merupakan kekuatan yang bisa dikembangkan, Donggala relatif dekat dengan Kota Balikpapan, pintu gerbang masuk ke Kalimantan, dimana sejak dulu Balikpapan dan Samarinda adalah pasar yang potensial bagi ternak sapi dan kambing dari Donggala serta hasil bumi Donggala lainnya. Donggala memiliki Tanjung Karang, Pusat Laut dan Boneoge, yang merupakan potensi pariwisata yang sangat layak jual. Kekuatan-kekuatan ini apabila dikembangkan secara sinergis, maka Donggala akan menjelma menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan oleh daerah-daerah lain. Terlebih sejak 6 tahun lalu Ibu Kota Kabupaten secara resmi telah kembali kepangkuan Banawa. Dalam kaca mata marketing, Donggala adalah “BRAND” yang kuat. Sebagai Brand yang kuat, 70% Donggala telah mampu “menjual” dirinya sendiri, hanya 30% nya memerlukan DRIVE atau dorongan dari stakeholder dan Masyarakat Donggala yang memiliki tanggung jawab langsung dalam mengembangkan kota Donggala..

2. WEAKNESS (KELEMAHAN)
Sejak ibu kota Kabupaten Donggala berikut pelabuhannya dipindahkan, maka era kejayaan Donggala mulai pudar. Dari tahun ke tahun Donggala semakin terpuruk. Kegiatan pemerintahannya sepi, begitu juga kegiatan perekonomiannya yang dulu terpusat di pelabuhan seperti kehilangan nyawa. Kini tidak sedikit masyarakat Donggala yang wajahnya memancarkan kegelisahan yang dalam. Mereka juga cenderung bersikap apatis dengan situasi yang terjadi di Donggala saat ini. Ketidak pedulian kepada situasi Donggala bukan pada masyarakatnya saja tapi juga pada stakeholder, Bupati, eksekutif dan elit poloitik di Donggala punya sumbangan yang cukup besar terhadap terjadinya apatisme di tingkat multi etnis tersebut. Awareness atau kepedulian serta produktifitas pegawai Pemda Donggala perlu dibangkitkan. Donggala tidak dapat dibangun dengan tingkatan produktifitas yang rendah; datang jam 10.00 pulang jam 13.00. Donggala memiliki stakeholder Kaki 5 atau yang populer disebut DPR warung Nagaya, tidak ada yang pungkiri, mereka jagonya atau to Donggalae me’te; porena mabiccara (maaf kalo bugisnya jelek, maklum 33 tahun dalam perantauan). Mengkritisi satu regulasi atau kebijakan adalah penting dan tetap harus dilakukan, tapi memberikan solusi atau jalan keluar dari situsai yang terjadi jauh lebih penting. No Action Talk Only atau NATO saatnya dirubah menjadi To Act Not Talk Only atau mari Action tidak hanya ngomong, mungkin lebih bijaksana dalam melihat masalah Donggala saat ini. PAD Donggala yang kecil juga merupakan suatu kelemahan yang tidak bisa dipungkiri untuk dapat membangun Donggala saat ini. Skill atau kemampuan Sumber Daya Manusia Donggala yang sangat terbatas juga menjadi pekerjaan rumah [PR] para pelaku pendidikan.

3. OPPORTUNITY (KESEMPATAN)
Melihat Kekuatan atau Strength Donggala diatas serta masa lampau Donggala yang cukup populer serta kembalinya ibu kota Kabupaten ke Donggala sejak 6 tahun lalu, merupakan opportunity atau kesempatan yang besar untuk Donggala Bangkit kembali.

4. THREAT (ANCAMAN)
Ada beberapa ancaman yang dapat terjadi di Donggala, diantaranya;
1. Donggala yang multi etnis memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik horizontal.
2. Kecemburuan sosial, karena gap atau jurang pemisah antara yang miskin dan yang kaya begitu menonjol.
3. Demand atau tuntutan yg tinggi terhadap kinerja Stakeholder untuk memfungsikan Ibu Kota Kabupaten di Banawa secara maksimal, akan dapat memicu terjadinya aksi-aksi demonstrasi yang akhirnya menghambat kinerja semua pihak.
4. Kasus-kasus dugaan korupsi yang hingga saat ini belum diusut tuntas sehingga belum dapat ditentukan tersangkanya.
5. Relokasi Pasar agar wajah Donggala lebih bersih; Revitalisai Pelabuhan untuk memfungsikan dan memaksimalkan penggunaannya agar roda perekonomian kembali berputar, Galian C di Loli yang cenderung merusak lingkungan serta sengketa tapal batas di Loli, bagaikan bom waktu yang setiap saat dapat meledak dan dapat mengancaman stabilitas Donggala dalam membangun masa depannya.

4. RECOMMENDATION (REKOMENDASI)

Dalam Strength (kekuatan) Donggala, prioritas leade (pimpinan) adalah bagaimana “meng-empower” / memaksimalkan seluruh kekuatan yang ada di Donggala saat ini, sehingga seluruh kekuatan yang ada dapat lebih terlibat dalam pembangunan Donggala yang lebih baik.

Kelemahan Donggala dapat diatasi dengan memberikan prioritas kepada pembangunan kembali infrastruktur Donggala, baik secara fisik maupun mental. Awareness (kepedulian) semua orang terhadap situasi Donggala musti dibangkitkan. Ownership atau rasa memiliki terhadap kembalinya ibu kota Kabupaten Donggala juga harus ditingkatkan, terutama di Donggala Kota. Produktifitas Pegawai Pemda Donggala adalah PR yang besar buat Bupati dan perangkatnya. Skill Sumber Daya Manusia Donggala adalah bahan yang harus digodok bersama.

Opportunity (kesempatan) Donggala untuk kembali bangkit, adalah dengan memfungsikan kembali secara maksimal Ibu Kota Kabupaten di Banawa. Ini adalah key point atau kunci utama kesuksesan Donggala di masa mendatang. Semua stakeholder yang terlibat musti memiliki niat baik untuk mewujudkan hal ini.

Point 3, 4 dan 5 dari threatment (ancaman) adalah prioritas yang utama untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat, karena ke 3 point tersebut adalah 80% (Pareto) mewakili persoalan yang terjadi di Donggala.
Secara pribadi, saya sebagai orang Donggala asli berharap ada perbaikan/perubahan yang nyata terjadi di Donggala. Sebagai Ketua Umum Kerukunan Masyarakat Donggala seJabotabek; KMD siap berpartner untuk mencari solusi alternatif terhadap perubahan Donggala kearah yang lebih baik, komitmen kami adalah DONGGALA BANGKIT, seperti termuat dalam dokumen Deklarasi KMD di Taman Mini Indinesia Indah Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2004.

Angky Punya Cerita

Kok kurus ??

Tanta Ola Beli Kacamata
Tanta Ola so rasa stress, lantaran, dia kalo lia orang so sadiki babayang. Lantaran dia pikir depe mata so rusak, dia pigi di toko kaca mata.
Pelayan : "Siang tante, ada yang boleh kita bantu?"
Tanta Ola : "Kita pe mata so rusak ini noh...cari akang kacamata yang pas dang?"
Pelayan : "Tante so pernah pake kacamata?"
Tanta Ola : "Ohh..blum.. .."
Pelayan : "Kalu bagitu torang priksa dulu tante pe mata. Mari tante, torang ke tampa priksa."
Pelayan : "Tante, ini huruf apa ?" (sambil tunjung tu huruf yang sadiki basar )
Tanta Ola : "Nyanda jelas noh..."
Pelayan : "Kalu huruf ini dang?" (Sambil tunjung tu huruf yang lebeh basar)
Tanta Ola : "Masih nyanda jelas noh..."
Pelayan : "Ini komaling tanta huruf yang paling besar yang ada disini. Sekarang tanta bilang, ini huruf apa?" (sambil tunjung huruf yang depe basar rupa piring )
Tanta Ola : "Sama noh...masih nyanda jelas"
Pelayan : (sambil garo-garo kapala lantaran bingo) "Kiapa dari tadi nyanda jelas dang tanta?"
Tanta Ola : "Kita kwa nintau babaca, ngana kase tunjung huruf. Mana kita mo tau?"

Brapa Liter
Suatu waktu, Kale pigi pa Oom Petu pe warong. Pas sampe dimuka warong.
Kale : "Oom Petu, bli roko dang...?"
Oom Petu : (acuh sambil ba ator jualan)
Kale : (deng suara yang sadiki keras) "Oom Petu...bli roko dang ?"
Oom Petu : (masih tetap acuh)
Kale : (bataria keras skali) "Oom petu....! Bli roko dang...!"
Oom Petu : (deng nada marah) "Eh..Kale, baku hormat sadiki deng orang tua, ngana pe kira kita pongo ? Brapa liter minya so ngana mo bli ?"
Kale : ???

Baku Tinggi Pangkat
PapaAle : "Kita pe papa waktu taong 1975, depe pangkat so Mayor. Skarang, so Mayjen."
Utu : "Ah..kalu kita pe Oom taong 1970 so Kolonel."
Ale : "Berarti so Jendral skarang kang ?"
Utu : "Nyanda, so meninggal."

Kase Maso Ulang
Pulang dari greja, om Utu pe dua mata bangka deng' biru merah, sampe de pe istri kage skali...Kong om Utu pe istri, tanta Mintje tanya "Utu, kiapa sampe bagitu tu' mata ?"
Om Utu : "Tadi kwa di greja samantara manyanyi, tiba tiba ada cewek fasung masodeng rok pendek skali, maar de pe rok dang', ada tamaso kadalam pa de pe panta, karna dia badiri pas pa kita pe muka, jadi kita hela akang de pe rok supaya rapi dang...,
maar tu' cewek malah 'da tinju akang kamari 'tu mata sablah kiri..."
Tanta Mintje : "Maar, kiapa 'tu mata kanan bangka dang...?"
Om Utu : "Karna kita kira dia nyanda' suka 'da hela de pe rok, kong terpaksa kita kase maso ulang tu rok kadalang..., kong dia tinju tu mata sablah..."

Wednesday, November 08, 2006

Prinsip Dasar Manajemen Kinerja


Berdasarkan studi literatur yang penulis lakukan terhadap sejumlah buku, artikel, makalah, dan sumber-sumber literatur lainnya, maka manajemen kinerja yang baik untuk menuju organisasi berkinerja tinggi, harus mengikuti kaidah-kaidah berikut ini.
1. Terdapat suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur secara kuantitatif, serta jelas batas waktu untuk mencapainya. Tentu saja ukuran ini harus menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Jika pada organisasi bisnis atau komersial, maka indikator kinerjanya adalah berbagai aspek finansial seperti laba, pertumbuhan penjualan, lalu indikator pemasaran seperti jumlah pelanggan, dan sebagainya. Sedangkan pada organisasi pemerintahan seperti POLRI, maka ukuran kinerja tentu berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semuanya harus terukur secara kuantitatif dan dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga nanti pada saat evaluasi kita bisa mengetahui, apakah kinerja sudah mencapai target atau belum. Michael Porter, seorang profesor dari Harvard Business School mengungkapkan bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Jadi, ukuran kuantitatif itu penting. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja, biasanya tidak bisa diharapkan mampu mencapai kinerja yang memuaskan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) .
2. Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan ke dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut sebagai kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik sasaran pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Mengapa keduanya dicantumkan ? Supaya pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bisa bersikap fair, tidak melihat hasil akhir semata, melainkan juga proses kerjanya. Adakalanya seorang bawahan belum mencapai semua hasil akhir yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Ini juga bisa menjadi basis untuk perbaikan di masa yang akan datang (continuous improvements) .
3. Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu (1) perencanaan kinerja berupa penetapan indikator kinerja, lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan, lalu (2) pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru, maka lakukanlah perubahan tersebut, dan terakhir (3) evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan dulu ? Semuanya harus serba kuantitatif.
4. Adanya suatu sistem reward dan punishment yang bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak melulu bersifat finansial, melainkan juga dalam bentuk lain, seperti promosi, kesempatan pendidikan, dan sebagainya. Reward dan punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja terlebih dahulu sebelum reward dan punishment diberikan. Hati-hati dengan pemberian punishment, karena dalam banyak hal, pembinaan jauh lebih bermanfaat.
5. Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif, yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, rekan sekerja, pengguna jasa, serta bawahan. Pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, tetapi berpikir bersama mampu mengubah sikap subyektif itu menjadi sangat mendekati obyektif. Dengan demikian, ternyata berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat yang ingin dibawa oleh konsep penilaian 360 derajat. Walaupun banyak kritik yang diberikan terhadap konsep ini, tetapi cukup banyak yang menggunakannya di berbagai organisasi.
6. Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam organisasi. Satu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah, sikap followership, atau menjadi pengikut. Bayangkan jika semua orang menjadi komandan di dalam organisasi, lantas siapakah yang menjadi pelaksana ? Bukannya kinerja tinggi yang muncul, melainkan kekacauan di dalam organsiasi (chaos). Sejatinya, pada kondisi tertentu seseorang harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi pada situasi yang lain, dia juga harus memahami bahwa dia juga merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar, yang harus dia ikuti.
7. Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya organisasi berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi tersebut kepada hal-hal penting, seperti manajemen kinerja, rekruitmen dan seleksi, pendidikan dan pengembangan, dan promosi. Seperti yang diuraikan pada awal makalah ini, kompetensi tersebut setidaknya mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kompetensi inti organsiasi, kompetensi perilaku, serta kompetensi teknikal yang spesifik terhadap pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan di dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.
____________________________
oleh : Riri Satria
Ringkasan makalah disampaikan pada Rapat Kerja TeknisBidang Sumber Daya Manusia POLRI,tanggal 15 November 2005, di Jakarta.

Friday, November 03, 2006

Sejarah Donggala

Donggala adalah sebuah kota tua di Indonesia, tepatnya di Sulawesi Tengah....(to be continue)